Aksi Bela Palestina Berakhir dengan Semangat yang sama Yakni Persatuan

akarta : Hal paling menarik dalam aksi bela Palestina yang diinisiasi Majelis Ulama Indonesia MUI kemarin adalah berpadunya berbagai elemen masyarakat dan berbagai tokoh dalam satu moment dengan issue yang sama. Ada yang menyebut aksi tersebut dihadiri satu juta orang, ada yang lebih dari itu dan ada juga yang menyebut kurang dari itu. Namun semua bersamaan pandang bahwa yang hadir sangat banyak dan beragam.

Aksi bela palestina itu sendiri sesungguhnya hanya pelengkap dari berbagai langkah preaiden Joko Widodo dalam konferensi OKI belum lama ini. Dalam aksi tersebut muncul kebersamaan dalam keberagaman. Ada Kohesi sosial di sana. Kebaragaman atau plurality adalah satu kenyataan, ia menjadi potensi positif namun disisi lain juga dapat menjadi potensi destruktif.

Bagi bangsa Indonesia, harusnya persoalan keberagaman ini sudah selesai. Akan tetapi sepertinya harapan itu belum sempurna seratus persen. Katakter plural seperti diceritakan sosiolog JS Furnival masih ada di tengah masyarakat. Salah satu studi Furnival pada sejumlah negara yang pernah mengalami kolonialisasi, termasuk Indonesia, adalah kecenderungan tidak adanya kehendak bersama dari masing-masing konunitas di dalam masyarakat. Mereka bergabung tapi tidak bersatu.

Studi ini sangat berkait dengan penelitian Clifford Geertz di Indonesia dalam bukunya the Religion og Java. Geertz menyebut adanya kaum Abangan, Santri dan Priyayi. Secara faktual, kondisi itu memang sudah menipis, akan tetapi secara fenomena masih ada.

Karena itu, ketika issue Palestina bergulir dan kemudian kepemimpinan Presiden Joko Widodo mampu mengelola issue ini dengan baik, maka fragmentasi yang ada mulai melebur. Publik tidak menyangka bahwa Presiden Joko Widodo ternyata sangat concern terhadap palestina. Presiden Joko Widodo bahkan lebih leading bersama Presiden Turky dan Raja Yordania dalam issue ini. Bahkan Presiden Joko Widodo lebih hebat dibandingkan Mesir dan Arab Saudi yang melempem.

Dalam konteks di Indonesia, situasi Palestina mampu memunculkan kohesi bangsa. Fakta ini dikelola baik oleh dua tokoh sentral, yakni Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara dan Majelis Ulama Indonesia sebagai representasi publik. Kita kemudian dapat menyaksikan bahwa umara dan ulama itu sehati dan sejalan. Bahkan, kondisi ini juga mampu merangkum berbagai elemen di tengah masyarakat.

Rakyat negeri ini sudah sangat rindu adanya kekuatan yang mewujudkan kohesi tersebut. Bangsa ini tentu juga sangat berharap bahwa hasil penelitian Clifford Geertz dan JS Furnivall menjadi tidak lagi sesuai dengan Indonesia zaman kini. (WK/ARN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *